Gagal Menjadi Nomor Satu

Ini sebuah kisah nyata. Ini adalah perjalanan hidup. Bahkan ini adalah saksi sejarah yang layak tetap menggema di cakrawala.

Tahun 1994, saya adalah seorang pedagang. Menampung hasil bumi ( kelapa, pisang dan gula) dari para petani, untuk dijual kembali ke agen yang lebih besar. Di saat yang bersamaan, saya juga mengelola bengkel. Dari mulai tambal ban, stel velg, sampai pekerjaan mengelas saya tangani. Namun, saya juga gagal untuk menjadi yang nomor satu, yang akhirnya dua dunia usaha tersebut tumbang dalam waktu yang hampir bersamaan.

Tahun 1997, saya adalah penyuplai bahan bangunan seperti pasir dan batu pondasi. Dengan unit mobil yang saya miliki, setiap hari harus keliling desa untuk mengantarkan pesanan bahan bangunan tersebut. Namun, usaha itupun tumbang.

Tahun 1999, saya adalah seorang pengangguran. Tak ada satu pun kegiatan yang mendatangkan selembar uang, bahkan untuk makan pun, saya harus numpang. Pengangguran adalah profesi, namun saya kembali gagal menjadi pengangguran yang nomor satu.

Tahun 2000, saya adalah seorang penjual mobil bekas, yang kerjanya keliling daerah untuk mencari mobil dengan harga murah. Dalam prosesnya, mobil yang didapat tersebut, kami perbaiki dengan harapan memperoleh tambahan nilai jual. Kami adalah sebuah team yang terdiri dari tiga orang, dan tugas pokok saya adalah seorang mekanik yang harus selalu sanggup dan mampu untuk memperbaiki mesin mobil; apapun kondisinya. Namun, saya pun kembali gagal untuk menjadi penjual mobil dan mekanik yang nomor satu, hingga usaha itu pun berakhir.

Tahun 2002, saya menjadi kuli bangunan di Jakarta. Pekerjaan yang saya tangani tidaklah tetap.. dari mulai pegang gergaji, pegang alat las, sampai diperbantukan di bagian logistik. Tidur di atas tumpukan triplek, dengan berbantal lipatan baju, adalah hal yang biasa saya alami. Namun, saya pun gagal untuk menjadi kuli yang nomor satu, hingga akhirnya saya pun hengkang dari dunia kontruksi bangunan.

Tahun 2004, saya adalah seorang sales. Berkeliling di wilayah Jakarta Timur, untuk menjajakan berbagai barang yang biasa dijual di warung-warung. Membawa tumpukan barang dengan sepeda motor, bukanlah hal yang mudah. Apalagi saya harus keluar masuk gang, serta meluncur di jalan raya yang sarat dengan kendaraan, demi menjangkau warung sebanyak-banyaknya. Namun saya kembali gagal untuk menjadi sales yang nomor satu, hingga akhirnya dunia sales pun ku tinggalkan.

Tahun 2006, saya berangkat ke Kalimantan. Awal hidup saya di Kalimantan adalah menjadi sopir di salah satu pertambangan batu bara. Suka duka menjadi kuli tambang, sudah kenyang saya rasakan. Dari mulai gaji yang pas-pasan, debu yang mengganggu pernafasan, hingga merambah ke system jam kerja yang semakin hari semakin berat ku rasakan. Dan akhirnya, menginjak tahun ke 3, saya pun berkeputusan untuk berhenti menjadi kuli tambang, karena saya merasa, saya tak akan mampu untuk menjadi kuli tambang yang nomor satu.

Tahun 2009, saya membuka usaha warnet. Hanya dengan modal nekad, karena sejatinya, ilmu tentang internet dan komputer yang saya miliki, belumlah cukup untuk mendirikan sebuah warnet. Bahkan yang lebih konyol, saya adalah manusia belum pernah masuk warnet sebelumnya. Jangankan untuk mencontoh design ruangan warnet, bahkan softwere apa saja yang diperlukan di sebuah warnet pun, saya belum pernah tahu. Namun untungnya, saya punya seorang adik yang telah tahu banyak tentang internet dan komputer. Sehingga, dia lah yang banyak membantu saya dalam mendirikan sebuah warnet.

Modal yang saya gunakan untuk mendirikan sebuah warnet, adalah lagi-lagi hanya modal nekad. Bagaimana tidak, saya harus pinjam sana dan pinjam sini untuk membeli komputer dan segala perangkat yang diperlukan. Dari keperluan dana sekitar 60 jutaan, hampir 90% adalah dana pinjaman yang harus saya cicil setiap bulan. Namun syukurlah, akhirnya semua pinjaman itu pun terlunasi.

Kini, apakah saya mampu untuk menjadi pemilik warnet yang nomor satu ? Pertanyaan itulah yang selalu menghantuiku. Jawabnya hanya satu kata; semoga.