Balada Bek Risto dan Coach Sinyo

SEKADAR bernostalgia apa salahnya. Cerita ini mirip balada, terjadi di tahun 1985 …

Sampai hari ini mungkin masih ada pencinta bola yang menyimpan kenangan manis pada sosok pelatih seperti Sinyo Aliandoe. Riwayat hidupnya pernah ditulis secara bersambung di sebuah majalah olahraga medio 1980-an. Isinya bercerita tentang bagaimana hidupnya semasa kecil hingga remaja di kampung halamannya, di Larantuka, Flores Timur.

Om Sinyo menempuh pendidikan di Sekolah Guru Pendidikan Jasmani di Denpasar. Kemudian dia alih profesi jadi pelatih sepakbola. Pelatih adalah guru yang terbaik bagi pemain sepakbola.

Kunto Widyatmoko (2009) menulis ihwal Sinyo sebagai mantan pemain nasional PSSI di tahun 60-an yang mengantarkan Indonesia menjadi juara Piala Aga Khan di Dakka (Bangladesh), Piala Raja di Bangkok (Thailand), dan Merdeka Games di Kuala Lumpur (Malaysia). Kita tahu, hanya sedikit pelatih berhasil menggenggam prestasi sebanyak yang Sinyo persembahkan bagi Indonesia.

Ada kisah menarik saat Sinyo Aliandoe menjabat pelatih tim nasional yang dipersiapkan untuk kualifikasi Piala Dunia 1986. Ketika itu, dia memanggil salah satu pemain yang sebelumnya tidak pernah terkenal dalam orbit sepakbola nasional.

Nama si pemain, Ristomoyo. Posisinya, di bek kiri. Klubnya, Caprina, satu klub Galatama yang baru dibentuk di Bali.

Pemilik klub itu, Herlina Kassim dijuluki Si Pending Emas. Herlina merupakan perempuan satu-satunya yang diterjunkan dalam pasukan payung di Papua pada 1962 ketika terjadi kecamuk perebutan wilayah di ujung timur Nusantara itu antara Indonesia versus Belanda. Bung Karno atas jasa-jasanya itu menghadiahkan Herlina sebuah pending emas. Lekatlah kemudian pending itu sebagai julukannya.

Tapi Caprina sedang diperiksa PSSI karena pengaturan skor dalam kompetisi Galatama. Dalam sebuah pertandingan, diduga ofisial klub asal Pulau Dewata itu menyuap beberapa pemain Makassar Utama. Skandal itu menjadi insiden kotor yang mencoreng kompetisi level atas sepakbola nasional.

Di tengah skandal, mata cerdik Sinyo Aliandoe masih dapat menangkap satu pemain berbakat dari Caprina yang layak membela PSSI. Kala itu, PSSI Pra Piala Dunia sedang mencari pemain spesialis di posisi bek kiri. Kendati ada kantong besar pembinaan bernama PSSI Garuda, namun akhirnya bek asal Caprina yang mendapat kepercayaan bermain sebagai skuad inti di sana. Posisi Ristomoyo nyaris tidak tergantikan, hingga dia turun panggung dari tim nasional, lalu menyeberang pindah ke sebuah klub di Malaysia.

Hanya satu, moral cerita ini. Seburuk apapun sebuah klub bila ada pemain bagus di dalamnya, maka pemain itu berhak membela kebesaran bangsa di bawah panji-panji Merah-Putih. Sinyo Aliandoe mengabaikan skandal pengaturan skor yang dilakukan ofisial klub Caprina dan menyelamatkan karier Ristomoyo sebagai pemain nasional.

Banyak pelajaran berharga yang boleh kita ambil bila membandingkan situasi yang terjadi di tahun 1985 itu dengan kondisi sepakbola domestik awal tahun 2012 ini. Salah satu kewibawaan Indonesia di kancah sepakbola internasional pernah ditunjukkan Sinyo Aliandoe dan Ristomoyo dengan kedaulatan prestasi sebagai cara kesatria seorang pembela bangsa sejati. Mereka tidak peduli sebuah klub dirundung skandal atau bahkan terancam ditutup PSSI.

Kini, suka atau tidak, banyak klub membangkang dari PSSI. Akibat pengurus yang ditengarai tidak becus, sepakbola Indonesia pun tergelincir hancur-lebur dalam atraksi akrobat terjun bebas yang paling menyedihkan dari puncak prestasi.

Sejarah buruk sudah terukir melalui kekalahan terbesar yang pernah diderita PSSI. Skor kebobolan 10 gol dari Bahrain di Manama, Rabu (29/2/2012) lalu, membuat asa pencinta sepakbola akan kebangkitan supremasi sepakbola Indonesia di dunia internasional kini pupus sudah.

Perubahan fundamental sepakbola Indonesia hanya akan berhasil dilakukan oleh para pelatih dan para pemain didukung para wasit dan para penontonnya sendiri. Barangkali masih banyak pencinta bola yang menyayangkan kalau PSSI harus bubar!