Manthous Berpulang


Mendung yang menggelayuti Dusun Jatisari, Desa Playen,Kecamatan Playen,Gunungkidul seakan ikut membawa kabar bahwa maestro campursari Anto Sugihartono alias Manthous telah berpulang pukul 06.00 WIB,kemarin.

Jutaan pecinta musik campursari pun merasa sangat kehilangan. Pencipta lagu Gethukdan Jamilahserta sederetan tembang campursari ini menghadap Sang Pencipta setelah mengeluh sesak napas di kediamannya di Pamulang,Tangerang Selatan, Banten. Seniman yang mendapatkan penghargaan atas aransemen musik keroncong ini sempat dibawa ke rumah sakit PKU Muhammadiyah Pamulang.

Tetapi dalam perjalanannya, bos Campurs a r i Gunungkidul (CSGK) ini menghembuskan napas terakhirnya. Adik kandung Manthous,Yunianto mengungkapkan, tidak ada firasat apapun kepada saudarasaudaranya sebelum kakaknya meninggal. Bahkan dia sempat duet bersama sang maestro sewaktu pentas di Jakarta beberapa waktu lalu. ”Saya kaget mendengar kabar ini. Sebelumnya kan tidak ada kabar kalau mas Manthous sakit. Memang sepekan yang lalu Manthous sempat jatuh.Tapi sudah sembuh dan disarankan tidur di bawah (di lantai),” ucap pimpinan CSGK ini kemarin.

Jenazah Manthous sekitar pukul 13.00 WIB diberangkatkan dari rumah duka di Pamulang menuju kediamannya di Playen menggunakan jalur darat. Almarhum akan disemayamkan terlebih dulu di Studio 21, Dusun Jatisari, Desa Playen. Studio 21 dibangun sang maestro di era kejayaannya. ”Besok baru dikebumikan di pemakamam umum Desa Playen,” lanjut Yunianto yang juga pelaku musik campursari ini. Anak sulung Manthous,Tatut Dian Ambarwati masih terlihat shock dengan kepergian ayahnya.

Diapun tidak bisa menahan air mata ketika kabar meninggalnya Manthous diterima lewat telepon selulernya kemarin pagi. ”Kepergian bapak begitu cepat.Padahal kami masih sering telepon-teleponan. Meski terkena stroke tapi semangat bapak sangat tinggi,” tuturnya. SelainTatut,Manthous juga memiliki lima anak lainnya. Yakni, Ade Dian Krismastuti, Deni Navanina,Anindya Janu Wardani,Adinda Sabrina,serta Marcello Depzikiato.Nama Deni Navanina yang juga putri ketiga Manthous adalah nama pemberian dari penyanyi kondang Emilia Contessa.

Pegiat campur sari Gunungkidul Edy Laras mengungkapkan, baginya Manthous merupakan guru campursari. Dia mulai ikut menggeluti dunia campursari dan menjadi cantrik Manthous sejak 2000 lalu. ”Saya kemudian solo karier.Ini penghormatan terakhir saya terhadap Pak Manthous,”ucapnya. Dia pun bertekad tetap melestarikan campursari dan siap membangun kembali CSGK. ”Saya sudah matur sama adik Pak Manthous untuk kembali menyegarkan campur sari melalui CSGK,”kata dia. Salah satu putri yang mewarisi bakat musik Manthous saat ini adalah Anindya Janu Wardani.

Almunus Seni Musik UNY ini mengatakan, sang ayah merupakan sosok yang kuat dan membebaskan anakanaknya dalam menentukan pilihan. ”Saya terjun ke musik juga atas dasar kebebasan dari bapak,dan saya memilih meneruskan musik,”katanya. Hasil karya sang Manthous yang booming di antaranya,Jamilah yang dibawakan Jamal Mirdad, Gethuk oleh Nur Afni Octavia, Kangen oleh Evie Tamala, Konco Tani, Rondo Kempling, Jeruk Garut,Tiwul Gunungkidul, dan Pak Rebo.

Sebelum dikebumikan,putri sulung Manthous Tatut Dian Ambarwati akan melangsungkan pernikahannya dengan Nugroho Budi Santoso di depan jenazah sang maestro.” Karena dia putri maka lebih baik melangsungkan perkawinannya sekalian,” ungkap adik Manthous lainnya, S Harjono.

Berawal dari Ngamen

Manthous lahir di Gunungkidul, 10 April tahun 1950. Sejak kecil,Anto dikenal sebagai anak yang ulet namun sedikit nakal. Saat remaja, dia nekat merantau di Jakarta. Manthous pun rela menjadi pengamen dan menggelandang di Ibu Kota. Dia sempat bergabung dengan grup keroncong Bintang Jakarta Pimpinan Budiman BJ pada tahun 1969.

Pada tahun 1976, Manthous mendirikan grup band Bieb Blues sebuah grup musik berciri funky rock bersama dengan Bieb anak Benyamin S yang bertahan hingga tahun 1980. Di tahun 1971, Manthous mulai menekuni dunia rekaman di Musica Studio bersama A.Riyanto. dengan penuh keuletan serta ketekunan, Manthous kemudian membuat band untuk musik pop.Tahun 1980 Manthous bersama Charles Hutagalung membuat home band Flouwer Sound Recording. ”Kemudian Mas Manthous juga mulai menjadi aranger untuk musik keroncong,” ungkap S Harjono. Pada awalnya, sang maestro mulai mengaransemen lagu pop keroncong dengan penyanyi Hetty Koes Endang.

”Tembang tembangnya ternyata juga bisa diterima di pasaran,” kenangnya. Pada Tahun 1990 Manthous bersama Rinto Harahap membawa musik pop keroncong ke Tokyo Music Festival. Selama sepuluh hari,Manthous berada di Jepang dan pentas berkeliling di negeri Sakura ini. Tahun 1991 musik pop keroncong pimpinan Manthous juga sempat ke Amerika Serikat untuk menghibur masyarakat indonesia yang berada di negeri Paman Sam ini. Di tengah ketenarannya sebagai arangermusik keroncong,Manthous mulai sering pulang kampung.

Dia pun meneruskan dan membimbing adik-adiknya untuk membuat musik gaya baru, musik campursari yang dikenal dengan sebutan Campursari Gunungkidul (CSGK). ”Akhirnya kami membuat album pertama bersama maju lancar dengan album Konco Tani dengan penyanyi Mbak Waljinah,” tutur adik Manthous lainnya Yunianto. Dia dipercaya sebagai pimpinan CSGK.Tidak tanggungtanggung album pertama pun laris manis dipasaran dengan terjual 50.000 keping kaset.

Kemudian satu persatu album lainnya mengalir hingga delapan album yang berhasil dibuat grup campursari kebanggaan Gunungkidul ini.”Kemudian mas Manthous juga masih pentas dan membuat album sendiri, tanpa CSGK, seperti Cintaku Jauh di Lampung,”terangnya. Pada tahun 1996,Manthous terpilih sebagai Seniman Inovatif dari Seksi Budaya dan Film PWI Cabang Yogyakarta.

Pada tahun yang sama Manthous mendapat penghargaan dari Sri Sultan Hamengku Buwono X dalam acara Gelar Budaya Rakyat 1996 di Kota Yogyakarta. Sedangkan di tahun 1999, Manthous mendapat Penghargaan Seni dari Pemprov DIY.