Penulis : Syaifoel Hardy
"Kamu pinjam beras ke Bulek Budi dua kilo, nak!" Begitu perintah Ibu yang hampir setiap pekan keempat setiap bulan saya dengar. Jatah beras yang diterima Bapak setiap tanggal 10 tidak cukup untuk menghidupi tujuh orang anaknya. Bulek Budi, tetangga sekitar 50 meter dari rumah kami adalah salah satu 'langganan', tempat kami meminjam beras. Pak Budi memang satu kantor dengan Bapak kami. Bedanya Pak Budi secara ekonomi kondisinya jauh lebih baik daripada kami. Saya sendiri, sebenarnya terlalu dini untuk mengetahui urusan perekonomian orangtua. Yang saya mengerti satu, bahwa jika Ibu menyuruh saya untuk pergi ke Bulek Budi, berarti
'gentong' tempat Ibu menyimpan beras sudah kosong.
Bulek Budi bukan satu-satunya tetangga tempat kami meminjam beras, tempat ke mana saya membawa tas kecil yang sudah usang sebagai tempat beras. Mbah Tun, perempuan tua yang biasa melewati depan rumah kami bila beliau ke mushalla, tidak jauh dari tempat kediaman Bulek Budi juga tidak ketinggalan. Kadang pula ke Bude Kinama, selain beberapa nama yang tidak perlu saya sebutkan di sini. Meski waktu itu saya masih kecil, saya merasakan lebih 'enak' jika pinjam beras ke rumahnya Mbah Tun. Itu karena saya hampir setiap hari biasa main, tepatnya kerja sambilan, di rumah beliau. Saya setia memberi les membaca menulis, matematika, menggambar, atau apa sajalah kepada cucu-cucu Mbah Tun, yang tidak kurang dari 10 orang jumlahnya. Saya mendapatkan imbalan jasa atas kerjaan 'sampingan' tersebut. Mbah Tun kadang menyuruh saya untuk memijati kakinya yang sudah keriput termakan usia. Langkah-langkah kaki beliau yang penuh varices sudah tidak lagi tegar. Sambil berjalan membungkuk, Mbah Tun meminta bantuan saya, "Capek, nak. Tolong Mbah dipijatin ya?" Saya mengangguk setuju. Sebagai anak kecil yang mungkin polos, dalam hati saya juga butuh, sekali lagi, imbalan jasa.
Cucu Mbah Tun terpencar di tiga rumah yang bersebelahan dengan rumah beliau. Masing-masing di belakang, dan di sebelah kiri rumahnya. Setiap hari saya hampir harus selalu bergiliran berkunjung ke tiga rumah tersebut. Mbah Tun dan anaknya tempat di mana beliau tinggal, tergolong mampu. Kepergian saya ke sana setiap hari, sejauh pengetahuan saya, juga diharapkan. Bahkan akan ditanyakan jika sehari saja tak muncul. Sekalipun anak Mbah Tun seorang guru SD, ironisnya, saya yang waktu itu berumur sekitar 12 tahun, justru yang mengajari anak-anaknya. Subhanallah. Saya pribadi rasanya tidak memikirkan waktu untuk belajar buat diri sendiri. Orangtua saya juga tidak pernah menanyakan, "Kamu sudah belajar, nak?"
Di sekolah, saya sering membantu teman-teman yang 'malas' untuk menulis pelajaran di bukunya. Dengan membantu menuliskannya, saya mendapatkan imbalan apakah itu berupa uang, snack, hingga peralatan sekolah seperti buku, pensil, atau ballpen. Pendeknya, dengan begitu saya tidak perlu risau dengan uang saku yang nyaris tidak saya terima dari Ibu sehari-harinya. Bagaimana saya bisa mengharapkan uang saku, jika untuk kebutuhan makan sehari-hari di rumah saja kurang?
Mbah Tun dan ketiga anaknya sering memberi saya makanan untuk saya bawa pulang ke rumah. Entah kenapa, dari hasil pemberian tersebut, saya tidak merasa malu. Nasi, sayur, ketela, roti, atau apa saja yang bisa dimakan seringkali saya bawa ke rumah. "Ini kamu bawa pulang nanti, nak!" Kata Mbah Tun yang menganggap saya tidak beda dengan cucu-cucu beliau. Andai ada nasi yang sudah basi pun saya tidak menolak, karena sama Ibu biasa dikeringkan kemudian dipakai sebagai sarapan pagi. Subhanallah! Melihat 'keindahan' kehidupan waktu itu, nasi basi yang dikeringkan, ditanak lagi, diberi sedikit kelapa dan garam, nikmat saja rasanya. Itulah barangkali karunia Allah yang tidak diberikan kepada semua orang, kecuali yang miskin seperti kami barangkali.
Saya tidak tahu bagaimana menggambarkan kesulitan orangtua membiayai uang sekolah SMP waktu itu. Setiap hari saya harus berjalan kaki lebih dari 6 km pulang pergi ke sekolah, kecuali jika ada truk yang bisa saya tumpangi. Sepatu sekolah yang saya kenakan acapkali bekas sepatu seragam pabrik salah satu kakak saya yang ikut membantu meringankan beban orangtua. Tiga dari sepuluh anggota keluarga kami, termasuk Ibu, kerja sambilan menjahit sarung di salah satu pabrik di kota kami. Dari situ akhirnya saya juga bisa menjahit, setidaknya pakaian saya yang robek. Bukankah Rasulullah juga menjahit sendiri pakaiannya? Sayangnya kerja mereka tidak berlangsung lama, karena pabriknya segera ditutup. Ini yang membuat kakak-kakak saya tidak kuasa untuk meneruskan pendidikannya. Dua orang kakak saya hanya sanggup sampai SMP, dua orang kakak lagi hanya SD, sementara saya sendiri yang mulai masuk SMP dengan biaya yang saya tidak tahu, bagaimana orangtua saya mengusahakannya. Dan dua adik yang masih kecil.
Seringkali saya tidak tidur di rumah karena harus memberikan les di beberapa tempat tadi. Saya sendiri waktu itu tidak mengerti apakah ini namanya pemberian les private. Yang penting saya akan mendapatkan imbalan dari mengajari anak-anak kecil di sana-sini. Saya juga mengajari Ibu saya yang buta huruf. Subhanallah, Ibu akhirnya bisa membaca meski tulisan yang dibaca harus besar-besar. Dan tandatangan beliau pun saya yang mengajarinya. Saya 'bangga' bisa memberikan sedikit 'sumbangan' bagi beliau.
Yang menguntungkan adalah, rumah kami dekat dengan kantor desa. Pak Lurah sepertinya tidak keberatan dengan saya manfaatkannya kantor desanya untuk mengajari anak-anak, padahal waktu itu saya juga masih anak-anak. Di sana kebetulan ada papan tulis dan kadang-kadang juga kapur. Saya gunakan kesempatan baik ini. Jadilah saya 'guru kecil'.
Bilamana Ramadhan tiba, kami senang sekali. Entah ada makanan atau tidak, puasa di kampung melahirkan perasaan yang tersendiri. Puasa pun bukan menjadi halangan bagi saya untuk mencari kayu di hutan. Waktu itu belum ada larangan bagi kami untuk mencari kayu di sana. Yang pasti, kami tidak mencari kayu jati, sengon, atau pinus yang dimanfaatkan untuk membangun rumah atau perabotan. Kami mencari kayu kering kecil-kecil buat menghidupkan api dapur. Saya tahu Ibu tidak mampu membeli minyak tanah setiap saat. Saya masih ingat ketika pertama kali mencari kayu, kelas 5 SD, ingin menangis rasanya, karena tidak tahu bagaimana harus menebang kayu. Dengan golok kecil yang tidak tajam di tangan, saya mencoba menirukan apa yang dilakukan teman-teman. Pada akhirnya toh saya bisa melakukan, sehingga pernah suatu saat halaman depan rumah yang luasnya kira-kira 40 meter persegi, penuh dengan kayu bakar. Sekali lagi, saya bangga bisa memberikan 'sumbangan kecil' ini bagi Ibu saya.
Saya benar-benar tidak mengerti apa arti cinta orangtua terhadap anaknya waktu itu. Setiap pagi yang saya dengar, "Nggak bangun kamu?" Kemudian saya dengar, "Blakkkk...!" Ibu membuka jendela, yang membuat kami terjaga karena kedinginan. Saya tidur di 'amben', sebutan tempat tidur tanpa kasur yang umum di desa-desa. Tempat tinggal kami tidak jauh dari hutan, sekitar 3 km. Pagi hari sesudah shalat Subuh, suasana terasa segar, petani sudah banyak yang lalu-lalang pergi ke sawah. Orang yang berbelanja ke pasar mulai membuka kesibukannya. Tidak sedikit pula yang sekedar jalan-jalan pagi seusai shalat. Sementara Ibu menyiapkan sarapan buat kami, jikapun ada. Bila kami tidak melipat selimut, Ibu bertanya, "Siapa yang kamu pikir akan melipat selimutmu?" Sebuah pertanyaan yang amat menyentuh rasa tanggung jawab kami. Demikian halnya jika sesudah makan lantas kami tidak mencuci piringnya, "Kamu pikir siapa nanti yang akan mencuci piring tersebut?" Subhanallah. Kami yang masih anak-anak waktu itu tidak menyadari bahwa kelak, itu semua amat membantu diri kami sendiri menjadi orang-orang yang harus bertanggung jawab terhadap apa yang kami perbuat, hanya berangkat dengan melipat selimut dan mencuci piring di waktu kecil!
Ibuku kurus sekali waktu itu, entah karena kekurangan makan atau terlalu banyak memikirkan kami, atau kedua-duanya. Sementara kami berada di sekolah, agaknya Ibu berjalan ke sana ke mari, bisa jadi mencari pinjaman atau sekedar membantu saudara-saudara Bapak saya yang punya pekarangan, agar setidaknya bisa mendapatkan sesuap makanan buat anak-anaknya, saya tidak tahu. Bila ada makanan ekstra, Ibu biasanya juga bilang, "Jangan dihabiskan, ingat yang lainnya!" Maksudnya ingat saudara-saudara lainnya yang berjumlah tujuh orang. Saya merasakan, jadi orang miskin itu akan 'jauh' dari saudara, teman, bahkan 'kenikmatan' dunia.
Terkadang saya mendengar Ibu agak uring-uringan kepada Bapak sebab memang penghasilan Bapak tidak cukup. Saya tahu itu karena bilamana saya ingin pergi ke kota bersama Bapak yang berangkat kerja, kala liburan tiba, beliau tidak mengendarai kendaraan umum, melainkan truk, gratis. Bagi saya hal itu tidak ubahnya 'hiburan'. Ketika saya diajak ke kantin dekat kantor ternyata beliau tidak membayar cash alias hutang. Subhanallah, Bapakku, hanya karena ingin menyenangkan hati anaknya, harus hutang ke kantin tersebut. Aku bisa mengerti hutang tidaknya ini sesudah cukup 'besar' tentunya.
Kami tidak sendirian dilanda kemiskinan waktu itu. Masih banyak keluarga-keluarga lainnya yang bisa saja jauh di bawah kami tingkat penderitaannya. Rumah kami memang tembok, tapi itu warisan yang diberikan kepada Ibu dari nenek beliau. Setiap akhir pekan, biasanya ada saja 'hiburan' yang dipertontonkan oleh orang-orang kota yang datang ke desa kami. Saya sebagai anak-anak ikut saja melihat acara tersebut tanpa berpikiran negatif. Sesudah saya besar saya baru mengerti bahwa tontonan tersebut adalah bagian dari kegiatan Kristenisasi di desa kami. Beberapa tetangga kami yang kemudian memeluk Kristen, mereka yang secara ekonomi juga lemah seperti kami, ternyata bagian dari korban Kristenisasi tersebut.
Ramadhan ini adalah puasa kesembilan Ibu kami tidak bisa ikut menikmatinya. Beliau sudah berpulang ke Rahmatullah. Bapak mendahului beliau jauh sebelumnya. "Bangun, sudah hampir Imsak!" Begitu suara Ibu yang hampir setiap hari kami dengar kala Ramadhan tiba, padahal belum tentu ada makanan yang buat ukuran sekarang 'layak' kami makan. Begitu seringnya Ibu bilang, "Makan apa nanti?" Sehingga makan nasi dan garam atau terasi saja, bukan asing bagi kami. "Aku akan cari bayam!" Kadang saya tawarkan pada Ibu sekiranya tidak ada sayur. Maksud saya adalah, bayam-bayam liar yang ada di sawah-sawah orang lain itulah yang saya cabuti. Astaghfirullah. Sekiranya perbuatan ini disebut mencuri, saya memohon ampun kepadaMu, ya Allah, atas segala kekhilafan hambaMu yang kala itu didera kemiskinan!
Walaupun kefakiran, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, bisa membawa kekufuran, mencuri kayu di hutan, hutang yang belum tentu dilunasi tepat waktu, mencuri bayam di ladang adalah buah dari kemiskinan ini, sekarang saya bisa merasakan, betapa kemiskinan waktu itu ternyata juga 'indah'. Orang hanya akan bisa menikmati dan mensyukuri besarnya nikmat dan karunia Allah SWT sesudah mengenyam kemiskinan. Apakah karena alasan tersebut Rasulullah Muhammad SAW lebih memilih kemiskinan dibanding harus menjadi raja yang kaya raya? Apakah karena hikmah di balik kemiskinan yang besar inilah sahabat-sahabat Rasulullah memilih menjadi melarat? Subhanallah! Adakah Ibu dan Bapakku di Alam Baka sana mengerti rahasia di balik semua ini? Bahwa kemiskinan kami dulu yang membuat saudara tidak dekat, teman jadi langka, keindahan dunia menjadi mahal, ternyata buahnya begitu indah? Berbahagialah orang yang bisa belajar kehidupan ini dari kemiskinan.