Nama dan kelahiran beliau
Nama aslinya yang paling terkenal adalah Zhalim bin Amr, beliau sering dikenal atau dipanggil dengan Abu Al Aswad Ad Du’ali rahimahullah, ada pula yang mengatakan Ad Dili, Al Allamah, Al Fadhil, Qadhi Bashrah. Beliau rahimahullah dilahirkan pada masa kenabian.
Ucapan Para Ulama tentang Beliau
Ahmad Al Ijli berkata, “Dia tsiqah (terpercaya) dan orang yang pertama kali berbicara tentang ilmu nahwu”.
Al Waqidi berkata, “Dia masuk Islam pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup.”
Orang lain berkata, “Abu Al Aswad Ad Du’ali ikut perang Jamal bersama Ali bin Abu Thalib, dan dia termasuk pembesar kelompok Syi’ah dan orang yang paling sempurna akal serta pendapatnya di antara mereka. Ali radhiallahu ‘anhu telah menyuruhnya meletakkan dasar-dasar ilmu nahwu ketika beliau mendengar kecerdasannya.”
Al Waqidi berkata, “Lalu Abu Al Aswad menunjukkan kepadanya apa yang telah ditulisnya,” Ali bin Abu Thalib radhiallahu ‘anhu berkata, “Alangkah baiknya nahwu yang kamu tulis ini.”
Dan diriwayatkan pula bahwa dari situlah ilmu nahwu disebut ‘nahwu’.
Muhammad bin Salam Al Jumahi berkata, “Abu Al Aswad Ad Du’ali adalah orang yang pertama kali meletakkan bab Fa’il, Maf’ul, Mudhaf, Huruf Rafa’, Nashab, Jar, dan Jazm. Yahya bin Ya’mar lalu belajar tentangnya.”
Al Mubarrad berkata, Al Mazini menceritakan kepadaku, dia berkata, “Sebab yang melatarbelakangi diletakkannya ilmu nahwu adalah karena Bintu Abu Al Aswad (anak perempuan Abu Al Aswad) berkata kepadanya, ‘Maa asyaddu Al Harri (alangkah panasnya)Abu Al Aswad lalu berkata, Al Hasyba Ar Ramadha’ (awan hitam yang sangat panas)’ anak perempuan Abu Al Aswad berkata, ‘aku takjub karena terlalu panasnya’. Abu Al Aswad berkata, ‘Ataukah orang-orang telah biasa mengucapkannya ?’. lalu Abu Al Aswad mengabarkan hal itu kepada Ali bin Abu Thalib, lalu dia memberikan dasar-dasar nahwu kepadanya dan dia meneruskannya. Dialah pula orang yang pertama kali meletakkan titik pada huruf.”
Al Jahizh berkata, “Abu Al Aswad adalah pemuka dalam tingkat sosial manusia. Dia termasuk kalangan ahli fiqih, penyair, ahli hadits, orang mulia, kesatria berkuda, pemimpin, orang cerdas, ahli nahwu, orang syiah, sekaligus orang bakhil. Dia botak bagian depan kepalanya.”
Sastra Islam, Sastra Sufi
Bersyukurlah karena Tuhan mengirimkan seorang nabi sempurna yang telah menyemai benih salah satu peradaban besar dunia. Dan berbahagialah karena Tuhan telah menghiasi peradaban itu dengan keindahan dan keberisian cita makna. Islam datang dengan sesuatu yang lain, sesuatu yang maha indah yang hanya dapat dicapai dengan pengalaman pribadi yang tiada sempurna mampu dilukis kata. Jangan pernah katakan agama yang dibawa Sang Cahaya Ilahi ini miskin rasa dan makna. Di sinilah kau lihat dan akan kau temukan apa yang selalu kau sangsikan keberadaanya. Sebuah penerimaan baru yang belum pernah kau rasa. Mari! Kau yang selalu dihinggapi rindu dan cinta, bersamalah kami menyelami kesejukan samudera yang maha dalam ini. Di sinilah rindu dan cintamu akan terpuaskan.
Islam memiliki tradisi sastra yang dapat dikatakan berbeda dengan berbagai macam karya lain di luarannya. Hal ini tidak lepas dari dasar yang digunakan oleh pelaku-pelaku sastra tersebut. Dasar yang mewarnai corak ragam seni dan sastra Islam antara lain; bertumpu pada al-Qur’an, hadist, falsafah, dan estetika di dalam Islam. Lalu apa yang membedakan sastra Islam dengan sastra lainnya? Bukankah semua sastra memiliki ciri-ciri yang hampir sama, yaitu paling tidak harus memiliki empat unsur yang membentuknya. Pertama, majaz (figuratif). Kedua, tasbih (image atau citraan). Tiga, tamsil (simbol perumpamaan). Dan yang terakhir, istiarah (metafora). Dan saya pikir sastra manapun memiliki hal itu, meski tidak mutlak. Perbedaan mendasar antara sastra Islam dan sastra lainnya dapat dikatakan terletak pada kedekatan sastra Islam pada dunia tasawuf. Sastra Islam setidaknya berkembang karena tasawuf. Sejak abad ke-10 M, sastra telah digunakan oleh para sufi sebagai media dalam kegiatan keruhanian mereka. Perbedaan inilah yang nampak relevan untuk menjadi ciri khas sastra Islam, meskipun tidak menutup kemungkinan ada banyak perbedaan lainnya. Dari sinilah kemudian muncul sastra sufi, yaitu sastra Islam yang berisi artikulasi-artikulasi pengalaman sufi. Dalam perkembangannya, sastra sufi disemarakkan oleh dua aliran besar sastra. Pertama, sastra Arab yang berkembang dari abad 8 M hingga abad 13 M. Aliran ini dipelopori oleh seorang sufi wanita, Rabiah al-Adawiyah, yang terkenal karena begitu cintanya pada Tuhan, hingga segala penderitaan dalam hidupnya tidak ada arti baginya, kecuali itu berkenaan dengan kecintaannya pada Allah. Selain Rabiah sastra Arab juga diwarnai oleh Dhu al-Nun al-Misri, Sumnun bin Hasan Basri, Bayazid al-Bistami, Saqiq al-Balkhi, Sari al-Saqati, Junaid al-Baghdadi, Abu Bakar al-Syibli, Abu al-Hasan al-Nuri, Mansur al-Hallaj, Niffari, dan Abu al-Qasim al-Sayyani. Sastra sufi Arab kemudian mencapai masa jayanya pada tokoh-tokoh seperti Ibn `Arabi, Sustari, Sadruddin al-Qunyawi, Ibn Atha`ilah al-Sakandari, Ibn al-Farid, Ibn Tufayl, Qushairy, Imam al-Ghazali, dan Najamuddin Daya.
Aliran sastra kedua yang mewarnai sastra sufi adalah Sastra Persia. Sastra sufi yang berkembang sejak abad 11 hingga 18 M ini diwarnai oleh tokoh-tokoh seperti Sana`i, Abu Sa`id al-Khayr, Khwaja Abdullah Anshari, Baba Kuhi, Baba Tahir, Fariduddin `Attar, Ruzbihan Baqli, Jalaluddin Rumi, Nizami al-Ganjawi, Fakhrudin `Iraqi, Sa`di, Suhrawardi, Mahmud al-Shabistari, Maghribi, dan Jami Karim al-Jili.
Dari orang-orang inilah sastra sufi berkembang ke berbagai tempat, terutama tempat-tempat yang penduduknya beragama Islam. Sastra sufi tercatat telah merasuki sastra yang berkembang di negara-negara seperti: Turki, Afrika, India, dan Kepulauan Melayu.
Farriduddin ‘Attar dan Pencarian Burung-burung pada Simurgh
Farriduddin Abu Hamid Muhammad bin Ibrahim lebih dikenal dengan nama Attar, si penyebar wangi. Meskipun sedikit yang diketahui dengan pasti tentang hidupnya, namun agaknya dapat dikatakan bahwa ia dilahirkan sekitar tahun 506 H/1119 dekat Nisyapur di Persia Barat-Laut (tempat kelahiran Umar Khayyam) dan meninggal sekitar tahun 607 H/1220 di Syaikhuhah.
Farriduddin ‘Attar pada mulanya hanyalah seorang pemilik sebuah kedai minyak wangi sebelum ia menjalani kehidupan tasawufnya. Dikisahkan bahwa kedainya kedatangan seorang Darwis berpakaian jubah wool. Darwis itu menangis ketika menghirup wewangian minyak wangi di kedai ‘Attar. Karena menganggap Darwis ini hendak meminta belas, ‘Attar-pun menyuruh sang Darwis pergi. Tetapi sang Darwis tidak mau pergi dan berkata pada ‘Attar; “Tidak ada yang dapat menghalang saya dari meninggalkan kedaimu ini, dan mengucapkan selamat tinggal kepada dunia yang bobrok ini. Apa yang ada padaku hanyalah jubah bulu domba yang lusuh ini, tetapi aku justru kasihan kepadamu, bagaimanakah kau dapat mengubah pandangan kau kepada persoalan maut dan meninggalkan harta benda dunia ini?” Dan setelah berkata demikian sang Darwis meninggal di kedai ‘Attar.
Jalaluddin Rumi Sang Penabur Benih Cinta dari Konya
Rumi memiliki Nama Asli Jalal al-Din Muhammad. Ia lahir dikota Balkh pada tanggal 30 September 1207 M. Ketika masih remaja ia harus mengikuti orang tuanya pindah ke daerah Nisyapur dan kemudian ke Bagdad untuk menghindari serangan bangsa Moghul di Balkh. Rumi begitu dikenal karena sajak-sajak cintanya yang mengajarkan perdamain. Hal ini dapat dilihat dalam salah satu sajaknya “Nisbinya Keburukan”;