Tsunami (bahasa Jepang: 津波;
tsu = pelabuhan, nami = gelombang, secara harafiah
berarti "ombak besar di pelabuhan") adalah perpindahan badan air yang
disebabkan oleh perubahan permukaan laut secara vertikal dengan tiba-tiba.
Perubahan permukaan laut tersebut bisa disebabkan oleh gempa bumi yang berpusat di bawah laut, letusan gunung berapi bawah laut, longsor
bawah laut, atau atau hantaman meteor di laut. Gelombang
tsunami dapat merambat ke segala arah. Tenaga yang
dikandung dalam gelombang tsunami adalah tetap terhadap fungsi ketinggian dan
kelajuannya. Di laut dalam, gelombang
tsunami dapat merambat dengan kecepatan 500-1000 km per jam. Setara dengan
kecepatan pesawat terbang. Ketinggian gelombang di laut dalam hanya sekitar 1
meter. Dengan demikian, laju gelombang tidak terasa oleh kapal yang sedang
berada di tengah laut. Ketika mendekati pantai, kecepatan gelombang
tsunami menurun hingga sekitar 30 km per jam, namun ketinggiannya sudah
meningkat hingga mencapai puluhan meter. Hantaman gelombang Tsunami bisa masuk
hingga puluhan kilometer dari bibir pantai. Kerusakan dan korban jiwa yang
terjadi karena Tsunami bisa diakibatkan karena hantaman air maupun material
yang terbawa oleh aliran gelombang tsunami.
Dampak negatif yang diakibatkan
tsunami adalah merusak apa saja yang dilaluinya. Bangunan, tumbuh-tumbuhan, dan
mengakibatkan korban jiwa manusia serta menyebabkan genangan, pencemaran air
asin lahan pertanian, tanah, dan air bersih.
Sejarawan Yunani bernama Thucydides merupakan orang pertama yang mengaitkan tsunami dengan
gempa bawah laut. Namun hingga abad ke-20, pengetahuan mengenai penyebab
tsunami masih sangat minim. Penelitian masih terus dilakukan untuk memahami
penyebab tsunami.
geologi, geografi, dan oseanografi pada masa lalu menyebut tsunami sebagai "gelombang
laut seismik".
Beberapa kondisi meteorologis,
seperti badai tropis, dapat menyebabkan gelombang badai yang disebut sebagai meteor tsunami
yang ketinggiannya beberapa meter di atas gelombang laut normal. Ketika badai
ini mencapai daratan, bentuknya bisa menyerupai tsunami, meski sebenarnya bukan
tsunami. Gelombangnya bisa menggenangi daratan. Gelombang badai ini pernah
menggenangi Burma (Myanmar) pada Mei 2008.
Wilayah di sekeliling Samudra Pasifik memiliki Pacific Tsunami Warning Centre (PTWC) yang
mengeluarkan peringatan jika terdapat ancaman tsunami pada wilayah ini. Wilayah
di sekeliling Samudera Hindia sedang membangun Indian Ocean Tsunami Warning System
(IOTWS) yang akan berpusat di Indonesia.
Bukti-bukti historis menunjukkan bahwa
megatsunami mungkin saja terjadi, yang menyebabkan beberapa pulau dapat
tenggelam
Terminologi
Kata tsunami berasal dari bahasa
jepang, tsu berarti pelabuhan, dan nami berarti gelombang.
Tsunami sering terjadi Jepang. Sejarah Jepang mencatat setidaknya 196 tsunami
telah terjadi.
Pada beberapa kesempatan, tsunami
disamakan dengan gelombang pasang. Dalam tahun-tahun terakhir, persepsi ini telah dinyatakan
tidak sesuai lagi, terutama dalam komunitas peneliti, karena gelombang pasang
tidak ada hubungannya dengan tsunami. Persepsi ini dahulu populer karena
penampakan tsunami yang menyerupai gelombang pasang yang tinggi.
Tsunami dan gelombang pasang
sama-sama menghasilkan gelombang air yang bergerak ke daratan, namun dalam
kejadian tsunami, gerakan gelombang jauh lebih besar dan lebih lama, sehingga
memberika kesan seperti gelombang pasang yang sangat tinggi. Meskipun
pengartian yang menyamakan dengan "pasang-surut" meliputi
"kemiripan" atau "memiliki kesamaan karakter" dengan
gelombang pasang, pengertian ini tidak lagi tepat. Tsunami tidak hanya terbatas
pada pelabuhan. Karenanya para geologis
dan oseanografis
sangat tidak merekomendasikan untuk menggunakan istilah ini.
Hanya ada beberapa bahasa lokal yang
memiliki arti yang sama dengan gelombang merusak ini. Aazhi Peralai
dalam Bahasa Tamil, ië beuna atau alôn buluëk (menurut dialek)
dalam Bahasa Aceh adalah contohnya. Sebagai catatan, dalam bahasa Tagalog
versi Austronesia, bahasa utama di Filipina, alon berarti
"gelombang". Di Pulau Simeulue,
daerah pesisir barat Sumatra, Indonesia, dalam Bahasa Defayan, smong berarti tsunami. Sementara dalam Bahasa Sigulai, emong berarti tsunami.
Penyebab
terjadinya tsunami
Skema terjadinya tsunami
Tsunami dapat terjadi jika terjadi
gangguan yang menyebabkan perpindahan sejumlah besar air, seperti letusan gunung api, gempa bumi, longsor maupun meteor yang jatuh ke bumi. Namun, 90% tsunami adalah akibat gempa
bumi bawah laut. Dalam rekaman sejarah beberapa tsunami diakibatkan oleh gunung
meletus, misalnya ketika meletusnya Gunung Krakatau.
Gerakan vertikal pada kerak bumi, dapat mengakibatkan dasar laut naik atau turun secara
tiba-tiba, yang mengakibatkan gangguan keseimbangan air yang berada di atasnya.
Hal ini mengakibatkan terjadinya aliran energi air laut, yang ketika sampai di
pantai menjadi gelombang besar yang mengakibatkan terjadinya tsunami.
Kecepatan gelombang tsunami
tergantung pada kedalaman laut di mana gelombang terjadi, dimana kecepatannya
bisa mencapai ratusan kilometer per jam. Bila tsunami mencapai pantai,
kecepatannya akan menjadi kurang lebih 50 km/jam dan energinya sangat merusak
daerah pantai yang dilaluinya. Di tengah laut tinggi gelombang tsunami hanya
beberapa cm hingga beberapa meter, namun saat mencapai pantai tinggi
gelombangnya bisa mencapai puluhan meter karena terjadi penumpukan masa air.
Saat mencapai pantai tsunami akan merayap masuk daratan jauh dari garis pantai
dengan jangkauan mencapai beberapa ratus meter bahkan bisa beberapa kilometer.
Gerakan vertikal ini dapat terjadi
pada patahan bumi atau sesar. Gempa bumi juga banyak terjadi di daerah subduksi,
dimana lempeng samudera menelusup ke bawah lempeng benua.
Tanah longsor yang terjadi di dasar
laut serta runtuhan gunung api juga dapat mengakibatkan gangguan air laut yang
dapat menghasilkan tsunami. Gempa yang menyebabkan gerakan tegak lurus lapisan
bumi. Akibatnya, dasar laut naik-turun secara tiba-tiba sehingga keseimbangan
air laut yang berada di atasnya terganggu. Demikian pula halnya dengan benda
kosmis atau meteor yang jatuh dari atas. Jika ukuran meteor atau longsor ini
cukup besar, dapat terjadi megatsunami yang tingginya mencapai ratusan meter.
Gempa yang menyebabkan tsunami
- Gempa bumi yang berpusat di tengah laut dan dangkal (0 - 30 km)
- Gempa bumi dengan kekuatan sekurang-kurangnya 6,5 Skala Richter
- Gempa bumi dengan pola sesar naik atau sesar turun
Sistem
Peringatan Dini
Banyak kota-kota di sekitar Pasifik,
terutama di Jepang
dan juga Hawaii,
mempunyai sistem
peringatan tsunami dan prosedur evakuasi untuk
menangani kejadian tsunami. Bencana tsunami dapat diprediksi oleh berbagai
institusi seismologi di berbagai penjuru dunia dan proses terjadinya tsunami
dapat dimonitor melalui perangkat yang ada di dasar atau permukaan laut yang
terhubung dengan satelit.
Perekam tekanan di dasar laut
bersama-sama denganperangkat yang mengapung di laut buoy, dapat digunakan untuk mendeteksi gelombang yang tidak
dapat dilihat oleh pengamat manusia pada laut dalam. Sistem sederhana yang
pertama kali digunakan untuk memberikan peringatan awal akan terjadinya tsunami
pernah dicoba di Hawaii pada tahun 1920-an. Kemudian, sistem yang lebih canggih
dikembangkan lagi setelah terjadinya tsunami besar pada tanggal 1 April
1946
dan 23 Mei
1960.
Amerika serikat membuat Pasific Tsunami Warning Center pada tahun 1949, dan menghubungkannya ke jaringan data dan
peringatan internasional pada tahun 1965.
Salah satu sistem untuk menyediakan
peringatan dini tsunami, CREST Project, dipasang di pantai Barat Amerika
Serikat, Alaska, dan Hawai oleh USGS, NOAA, dan Pacific Northwest Seismograph
Network, serta oleh tiga jaringan seismik universitas.
Hingga kini, ilmu tentang tsunami
sudah cukup berkembang, meskipun proses terjadinya masih banyak yang belum
diketahui dengan pasti. Episenter dari sebuah gempa bawah laut dan kemungkinan kejadian
tsunami dapat cepat dihitung. Pemodelan tsunami yang baik telah berhasil
memperkirakan seberapa besar tinggi gelombang tsunami di daerah sumber,
kecepatan penjalarannya dan waktu sampai di pantai, berapa ketinggian tsunami
di pantai dan seberapa jauh rendaman yang mungkin terjadi di daratan. Walaupun
begitu, karena faktor alamiah, seperti kompleksitas topografi dan batimetri
sekitar pantai dan adanya corak ragam tutupan lahan (baik tumbuhan, bangunan,
dll), perkiraan waktu kedatangan tsunami, ketinggian dan jarak rendaman tsunami
masih belum bisa dimodelkan secara akurat.
Sistem
Peringatan Dini Tsunami di Indonesia
Pemerintah Indonesia, dengan bantuan
negara-negara donor, telah mengembangkan Sistem Peringatan Dini Tsunami
Indonesia (Indonesian Tsunami Early Warning System - InaTEWS). Sistem ini
berpusat pada Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) di
Jakarta. Sistem ini memungkinkan BMKG mengirimkan peringatan tsunami jika
terjadi gempa yang berpotensi mengakibatkan tsunami. Sistem yang ada sekarang
ini sedang disempurnakan. Kedepannya, sistem ini akan dapat mengeluarkan 3
tingkat peringatan, sesuai dengan hasil perhitungan Sistem Pendukung
Pengambilan Keputusan (Decision Support System - DSS).
Pengembangan Sistem Peringatan Dini
Tsunami ini melibatkan banyak pihak, baik instansi pemerintah pusat, pemerintah
daerah, lembaga internasional, lembaga non-pemerintah. Koordinator dari pihak
Indonesia adalah Kementrian Negara Riset dan Teknologi (RISTEK). Sedangkan
instansi yang ditunjuk dan bertanggung jawab untuk mengeluarkan INFO GEMPA dan
PERINGATAN TSUNAMI adalah BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika).
Sistem ini didesain untuk dapat mengeluarkan peringatan tsunami dalam waktu
paling lama 5 menit setelah gempa terjadi.
Sistem Peringatan Dini memiliki 4
komponen: Pengetahuan mengenai Bahaya dan Resiko, Peramalan, Peringatan, dan
Reaksi.Observasi (Monitoring gempa dan permukaan laut), Integrasi dan
Diseminasi Informasi, Kesiapsiagaan.
Cara
Kerja
Sebuah Sistem Peringatan Dini
Tsunami adalah merupakan rangkaian sistem kerja yang rumit dan melibatkan
banyak pihak secara internasional, regional, nasional, daerah dan bermuara di
Masyarakat.
Apabila terjadi suatu Gempa, maka kejadian
tersebut dicatat oleh alat Seismograf (pencatat gempa). Informasi gempa
(kekuatan, lokasi, waktu kejadian) dikirimkan melalui satelit ke BMKG Jakarta.
Selanjutnya BMG akan mengeluarkan INFO GEMPA yang disampaikan melalui peralatan
teknis secara simultan. Data gempa dimasukkan dalam DSS untuk memperhitungkan
apakah gempa tersebut berpotensi menimbulkan tsunami. Perhitungan dilakukan
berdasarkan jutaan skenario modelling yang sudah dibuat terlebih dahulu.
Kemudian, BMKG dapat mengeluarkan INFO PERINGATAN TSUNAMI. Data gempa ini juga
akan diintegrasikan dengan data dari peralatan sistem peringatan dini lainnya
(GPS, BUOY, OBU, Tide Gauge) untuk memberikan konfirmasi apakah gelombang
tsunami benar-benar sudah terbentuk. Informasi ini juga diteruskan oleh BMKG.
BMKG menyampaikan info peringatan tsunami melalui beberapa institusi perantara,
yang meliputi (Pemerintah Daerah dan Media). Institusi perantara inilah yang
meneruskan informasi peringatan kepada masyarakat. BMKG juga menyampaikan info
peringatan melalui SMS ke pengguna ponsel yang sudah terdaftar dalam database
BMKG. Cara penyampaian Info Gempa tersebut untuk saat ini adalah melalui SMS,
Facsimile, Telepon, Email, RANET (Radio Internet), FM RDS (Radio yang mempunyai
fasilitas RDS/Radio Data System) dan melalui Website BMG (www.bmg.go.id).
Pengalaman serta banyak kejadian
dilapangan membuktikan bahwa meskipun banyak peralatan canggih yang digunakan,
tetapi alat yang paling efektif hingga saat ini untuk Sistem Peringatan Dini
Tsunami adalah RADIO. Oleh sebab itu, kepada masyarakat yang tinggal didaerah
rawan Tsunami diminta untuk selalu siaga mempersiapkan RADIO FM untuk
mendengarkan berita peringatan dini Tsunami. Alat lainnya yang juga dikenal
ampuh adalah Radio Komunikasi Antar Penduduk. Organisasi yang mengurusnya
adalah RAPI (Radio Antar Penduduk Indonesia). Mengapa Radio ? jawabannya
sederhana, karena ketika gempa seringkali mati lampu tidak ada listrik. Radio
dapat beroperasi dengan baterai. Selain itu karena ukurannya kecil, dapat
dibawa-bawa (mobile). Radius komunikasinyapun relatif cukup memadai.